dadada

dadada

Informasi jitu tentang Pangan, Pertanian dan Budidaya serta tips seputar cara berkebun

28/08/15

Arti Petani: Sebuah Maha Karya

Apa yang terbersit dalam pikiran anda ketika mendengar kata petani? Atau, jawaban apa yang akan Anda berikan atas pertanyaan “Siapakah Petani?”, “Apa itu petani?”, “Dimanakah petani?” dan sejumlah pertanyaan lain yang meminta keterangan anda tentang petani? Arti Petani: Sebuah Maha Karya

Arti Petani: Sebuah Maha Karya

Kata petani akar katanya “tani”. Dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI), kata ‘tani’ memiliki arti mata pencaharian dalam bentuk bercocok tanam; mata pencarian dalam bentuk mengusahakan tanah dengan tanam-menanam.  Secara singkat, kata petani berarti orang yang bekerja mengolah lahan dan bercocok tanam.

Petani diidentikkan dengan orang-orang yang bekerja di sawah dan atau di ladang (kebun). Sistem kehidupan yang lebih didominasi oleh pengolahan lahan dan bercocok tanam disebut pertanian. Dalam arti yang cukup luas, pertanian merupakan kegiatan pemanfaatan sumber daya hayati yang dilakukan manusia untuk menghasilkan bahan pangan, bahan baku industri, atau sumber energi, serta untuk mengelola lingkungan hidupnya.

Masyarakat Petani

Van Maydell, dkk (1989) berpendapat bahwa masyarakat lokal pada dasarnya cukup bila dibedakan atas dua kelompok yaitu: Pemburu (hunters) dan peramu (gatherers) hasil hutan atau juga diistilahkan dengan “penghuni hutan” (forest dwellers) dan para petani di sekitar hutan (forest farmers) yang pada umumnya merupakan penduduk di sekitar hutan.[1]

Dalam istilah antropologi, dikenal istilah peasant (Bahasa Inggris), yang berasal dari Bahasa Perancis ‘paisant’ yang berarti penduduk lokal (local inhabitant). Sebutan penduduk lokal yang diidentikkan dengan petani erat kaitannya dengan kondisi di Perancis kala itu. Bahwa petani lebih banyak di desa-desa atau di tempat-tempat yang jauh dari keramaian kota.

Namun, dalam perkembangan, istilah penduduk lokal ini kemudian mengalami perluasan makna. Penduduk lokal tidak murni mengacu pada petani atau peternak. “Penduduk lokal” kini diartikan sebagai kumpulan orang-orang yang secara turun temurun mendiami suatu wilayah yang diikat oleh tradisi-tradisi tertentu di wilayah itu. Mereka tinggal dan menetap di wilayah itu dengan sistem sosial yang telah mengikat kelompok masyarakatnya sebagai satu kesatuan.[2]

Tetapi jangan salah juga dengan term penduduk lokal. Sebab, perkara penduduk asli dan bukan penduduk asli masih menjadi kerumitan tersendiri kehidupan sosial saat ini. Tak ketinggalan, isu pribumi dan non-pribumi juga ikut membaluti wacana politik dan ekonomi. Dalam konteks penduduk lokal inilah, desa dan petani menjadi dua hal yang tak dapat dipisahkan. Petani ada di desa, dan di desa adalah masyarakat petani. Pemahaman itu sama sekali terlepas dari asumsi adanya lapangan pekerjaan lain di sebuah desa.

Arti Sosiologis

Sosiologi sebagai sebuah ilmu pengetahuan yang mempelajari kehidupan masyarakat telah membagi masyarakat berdasarkan status sosialnya. Muncul pula istilah kelas sosial dalam sosiologi yang membelah masyarakat berdasarkan status sosio-ekonomi. Karl Marx misalnya, membagi masyarakat menjadi tiga golongan, yakni: golongan kapitalis atau borjuis (mereka yang menguasai tanah dan alat produksi), golongan menengah: terdiri dari para pegawai pemerintah), golongan proletar (adalah mereka yang tidak memiliki tanah dan alat produksi, termasuk didalamnya adalah kaum buruh atau pekerja pabrik).

Menurut Karl Marx golongan menengah cenderung dimasukkan ke golongan kapatalis karena dalam kenyataannya golongan ini adalah pembela setia kaum kapitalis. Dengan demikian, dalam kenyataannya hanya terdapat dua golongan masyarakat, yakni golongan kapitalis atau borjuis dan golongan proletar. Jika mengikuti aliran pemikiran Marx, petani tentu berada di golongan ketiga, yaitu golongan proletar. Petani hanya memiliki lahan, mengolah lahan dengan peralatan seadanya, memanfaatkan hasil pertanian sebagai sumber kehidupannya. Mereka bukan pekerja yang digaji negara dan kaum pemodal (kapitalis).[3]

Kelas sosial lahir dari stratifikasi sosial. Menurut sosiolog Pitirim A. Sorokin, dalam karangannya yang berjudul “Social Stratification”, sistem lapisan dalam masyarakat itu merupakan ciri yang tetap dan umum dalam masyarakat yang hidup teratur. Sementara itu, menurut menurut Max Weber stratifikasi sosial merupakan penggolongan orang-orang yang termasuk dalam suatu sistem sosial tertentu ke dalam lapisan-lapisan hirarkis menurut dimensi kekuasaan, privilese dan prestise.

Dalam stratifikasi sosial, dikenal pula adanya kelas sosial, yang berarti pengelompokan masyarakat berdasarkan criteria atau kemampuan ekonomi. Term “kemampuan ekonomi” tidak hanya berkaitan dengan total penghasilan orang tertentu, tetapi juga menyangkut tingkat pendidikan, pekerjaan, dan juga keturunan.[4]

Petani Indonesia: Ketika Negara Abai

Petani Indonesia: Ketika Negara Abai

Sebagian besar mayarakat Indonesia bermata pencaharian sebagai petani, baik petani lahan basah maupun petani lahan kering. Petani di Indonesia mayoritas merupakan petani kecil dengan penguasaan dan pengusahaan lahan yang relatif sempi. Keterbatasan tersebut pada dasarnya bercirikan antara lain: sangat terbatasnya penguasaan terhadap sumberdaya, sangat menggantungkan hidupnya pada usahatani, tingkat pendidikan yang relatif rendah; dan secara ekonomi, mereka tergolong miskin (Baca: Singh, 2002).

Sebagai masyarakat mayoritas yang hidup di pedesaan, petani merupakan masyarakat yang tidak primitif, tidak pula modern. Masyarakat petani berada di pertengahan jalan antara suku-bangsa primitif (tribe) dan masyarakat industri. Mereka terbentuk sebagai pola-pola dari suatu infrastuktur masyarakat yang tidak bisa dihapus begitu saja. Dari perjalanan sejarah, kaum petani pedesaan (peasantry) memiliki arti penting karena di atas puing-puing merekalah masyarakat industri dibangun. Mereka mendiami bagian “yang terbelakang” (di masa kini) dari bumi ini.

Jika demikian, arti penting negara bagi pertanian sesungguhnya adalah menghadirkan kesejahteraan bagi petani. lagi-lagi, kebijakan pertanian harus didudukkan diatas kepentingan petani. Kesejahteraan petani, yang mencakup kelayakan hidup, akses pendidikan, peningkatan hasil pertanian, adalah muara dari keluarnya berbagai kebijakan pertanian.

Jangan sampai, stigma pengkategorian masyarakat yang telah menempatkan kelompok masyarakat petani sebagai kelas ketiga itu malah diperparah dengan ketidakhadiran negara dalam ruang perjuangan petani mempertahankan lahan pertanian, mendapatkan hasil pertanian yang berkualitas dan mendapatkan akses pembangunan yang layak, layaknya kelas masyarakat lainya.

Menjadi seorang petani tentu tidaklah segampang yang dipikirkan. Betapa tidak. Usaha pertanian tidak hanya bicara tanam-menanam, tetapi juga mengaktualisasikan prinsip penghargaan terhadap tanah. Kehidupan seorang petani tak bisa dilepaskan dari filosofi itu. Dari sana lah mahakarya pembangunan itu ia persembahkan bagi negara tercinta.

Marsel Gunas
[1] Kehidupan pra-sejarah juga ditandai kehidupan tradisional yang nomaden. Manusia berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain untuk mempertahankan hidup dan menghindar dari bahaya yang mengancam. Disanalah cikal bakal lahirnya masyarakat tradisional, termasuk pertanian tradisional.

[2] Local Inhabittans (penduduk lokal) diidentikkan dengan penduduk yang tinggal di tempat-tempat tertentu, jauh dari perkotaan dan hidup dengan bercocok tanam. Istilah ini ditujukkan bagi petani di Eropa (selain menggunakan istilah peasant), yang setiap hari menggarap lahan perkebunan.

[3] Karl Marx dikenal sebagai seorang sosiolog yang terkenal dengan teori tentang kelas sosialnya. Marx lahir di German, pada 5 May 1818 dan meninggal di London pada 14 Maret 1883. Marx dikenal sebagai "filsuf kiri" yang terus menentang kekuasaan negara atas kaum miskin yang disebutnya "kaum proletar".

[4] Anda dan saya mungkin saja takut atau malu menjadi petani, apalagi jika berkaca pada penjelasan tentang kelas sosial yang disandang petani. Ya, petani mungkin bisa jadi sebuah gengsi yang khusus bagi kalangan pemuda masa kini. Kehidupan yang serba dikendalikan oleh perangkat-perangkat digital, kemudahan mendapatkan informasi, dan berbagai fasilitas kehidupan lainnya ternyata menjadi alasan orang untuk tidak lagi menjadi petani. Benar demikian? Seorang penulis muda pernah mengungkapkan kegelisahannya itu di kompasiana "malu aku jadi petani".

cxzsz

zzzc